Rabu, 05 Juni 2013

Homeschooling


Homeschooling sebagai salah satu alternatif  pendidikan, Homeschooling memiliki daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki sekolah. Para orang tua sedikit demi sedikit mulai memilih untuk melanjutkan pendidikan anaknya melalui Homeschooling. Hal ini ditempuh karena orang tua memandang Homeschooling lebih tepat untuk mengembangkan bakat dan minat sang buah hati.
Jika Homeschooling difahami sebagai model belajar otodidak dan mandiri, maka jejaknya telah dikenal sejak dahulu. Di Indonesia, model belajar ini banyak dijalani oleh para pedagang dengan sistem magang dan para santri dengan pesantrennya.

Banyak tokoh dunia ‘lahir’ dari Homeschooling, seperti Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Agatha Christie, Thomas A. Edison, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Mark Twain, Charlie Chaplin, Charles Dickens dan Winston Churchill. Adapun tokoh nasional antara lain K.H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka.

 Adapun sekarang, telah banyak komunitas Homeschooling yang bermunculan. Komunitas yang telah terbentuk antara lain Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip. (Permanasari, I dan Napitupulu, E.L, 2007: 6)
Bagi orang tua yang memilih Homeschooling, terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi (Sumardiono, 2007e) yaitu orang tua ingin meningkatkan kualitas anak, tidak puas dengan kualitas pendidikan di sekolah reguler, merasa keamanan dan pergaulan sekolah tidak kondusif bagi perkembangan anak, menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat dengan anak, merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, memiliki keyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga yang dipegangnya, merasa terpanggil untuk mendidik sendiri anak-anaknya, sering berpindah-pindah atau melakukan perjalanan, dan merasa bahwa anak-anaknya memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat dipenuhi di sekolah umum.

 PENGERTIAN HOMESCHOOLING

Selain Homeschooling, ada istilah ‘home-education’ atau ‘home-based learning’ yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama yaitu, model alternatif belajar selain di sekolah (Sumardiono, 2007a).
Lebih lanjut Sumardiono (2007a) menjelaskan bahwa salah satu pengertian Homeschooling adalah sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak dengan berbasis rumah. Meskipun demikian, pendidikan tidak selalu dilakukan orang tua saja. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat pula mengundang guru privat, mendaftar anak pada kursus, melibatkan anak pada proses magang, dan sebagainya.
Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, Homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling

 Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur Homeschooling adalah
(1) model alternatif belajar selain di sekolah,
(2) orang tua bertanggung jawab penuh,
(3) pembelajaran tidak selalu dengan orang tua sebagai fasilitator,
(4) suasana belajar kondusif, dan
(5) tujuannya agar setiap potensi unik anak berkembang maksimal.

 KLASIFIKASI FORMAT HOMESCHOOLING

Klasifikasi format homeschooling terbagi menjadi tiga yaitu
(1) Homeschooling tunggal,
(2) Homeschooling majemuk dan
(3) komunitas Homeschooling.


1. Homeschooling tunggal
Dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya karena hal tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.

Tantangan yang dihadapi Homeschooling tunggal:
(1) Sulitnya memperoleh dukungan/tempat bertanya, berbagi dan berbanding keberhasilan,
(2) kurang tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan, dan
(3) orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan mengusahakan penyetaraannya

2. Homeschooling majemuk
Dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama.

Tantangan yang dihadapi Homeschooling majemuk:
(1) Perlu kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu,
(2) perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran” orang tua harus tetap ada
(3) anak-anak dengan keahlian/kegiatan khusus harus menyesuaikan/menerima lingkungan lainnya dengan dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses pembentukan jati diri, dan
(4) orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan sendiri penyetaraannya

3. Komunitas homeschooling

Gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.
Alasan memilih komunitas homeschooling antara lain:
  • Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia dan pencapaian hasil belajar
  • Tersedia fasilitas pembelajaran yang lebih baik misalnya: bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olah raga dan kesenian
  • Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan
  • Dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing
  • Sesuai untuk anak usia di atas 10 tahun
  • Menggabungkan keluarga tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi
Tantangan yang dihadapi komunitas Homeschooling:
(1) Perlunya kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu yang dapat dilaksanakan bersama-sama,
(2) perlunya pengawasan yang professional sehingga diperlukan keahlian dalam bidang tertentu walaupun “kehadiran” orang tua harus tetap ada, dan
(3) anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus juga bisa menyesuaikan dengan lingkungan lainnya dan menerima “perbedaan-perbedaan” lainnya sebagai proses pembentukan jati diri



 KEKURANGAN DAN KELEBIHAN HOMESCHOOLING

Kelebihan homeschooling adalah:
1. Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
2. Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
3. Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
4. Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.
5. Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).
6. Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).
7. Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua.
Sedangkan kekurangan homeschooling adalah:
1. Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
2. Sosialisasi seumur (horizontal socialization) relatif rendah dibandingkan anak sekolah karena anak homeschooling lebih terekspos dengan sosialiasi lintas umur (vertical socialization).
3. Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan.
4. Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.


  LEGALISASI HOMESCHOOLING

Homeschooling adalah model pendidikan yang berada dalam jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling secara implisit telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (1): Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri
Pada tanggal 10 Januari 2007, telah ditandatangani kesepakatan kerjasama Nomor: 02/E/TR/2007 dan Nomor: 001/I/DK/AP/07 antara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Kesepakatan ini meningkatkan pengakuan dan eksistensi Homeschooling di Indonesia, karena Komunitas SekolahRumah diakui sebagai satuan pendidikan kesetaraan


 PENDEKATAN HOMESCHOOLING (Homeschooling Approach)

Homeschooling memiliki pendekatan yang memiliki rentang yang lebar mulai yang sangat tidak terstruktur (seperti Unschooling atau Natural Learning) hingga yang sangat terstruktur seperti belajar di sekolah (school at-home). Sumardiono (2007c) menyebutkan lima pendekatan Homeschooling yaitu (1) School at-home, (2) Unit studies, (3) Charlotte Mason atau The Living Book Approach, (4) Classical, Waldorf, Montessori, dan Eclectic, dan (5) Unschooling atau Natural Learning.
Dengan menggunakan referensi “The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling” karya Marsha Ransom, secara mendalam Sumardiono menjelaskan kelima pendekatan tersebut.
School at-home approach adalah model pendidikan yang serupa dengan yang diselenggarakan di sekolah. Hanya saja, tempatnya tidak di sekolah, tetapi di rumah. Metode ini juga sering disebut textbook approach, traditional approach, atau school approach.
Unit studies approach adalah model pendidikan yang berbasis pada tema (unit study). Pendakatan ini banyak dipakai oleh orang tua homeschooling. Dalam pendekatan ini, siswa tidak belajar satu mata pelajaran tertentu (matematika, bahasa, dsb), tetapi mempelajari banyak mata pelajaran sekaligus melalui sebuah tema yang dipelajari. Metode ini berkembang atas pemikiran bahwa proses belajar seharusnya terintegrasi (integrated), bukan terpecah-pecah (segmented).
The Living Books approach adalah model pendidikan melalui pengalaman dunia nyata. Metode ini dikembangkan oleh Charlotte Mason. Pendekatannya dengan mengajarkan kebiasaan baik (good habit), keterampilan dasar (membaca, menulis, matematika), serta mengekspose anak dengan pengalaman nyata, seperti berjalan-jalan, mengunjungi museum, berbelanja ke pasar, mencari informasi di perpustakaan, menghadiri pameran, dan sebagainya.
The Classical approach adalah model pendidikan yang dikembangkan sejak abad pertengahan. Pendekatan ini menggunakan kurikulum yang distrukturkan berdasarkan tiga tahap perkembangan anak yang disebut Trivium. Penekanan metode ini adalah kemampuan ekspresi verbal dan tertulis. Pendekatannya berbasis teks/literatur (bukan gambar/image).
The Waldorf approach adalah model pendidikan yang dikembangkan oleh Rudolph Steiner, banyak ditetapkan di sekolah-sekolah alternatif Waldorf di Amerika. Karena Steiner berusaha menciptakan setting sekolah yang mirip keadaan rumah, metodenya mudah diadaptasi untuk homeschool.
The Montessori appproach adalah model pendidikan yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori. Pendekatan ini mendorong penyiapan lingkungan pendukung yang nyata dan alami, mengamati proses interaksi anak-anak di lingkungan, serta terus menumbuhkan lingkungan sehingga anak-anak dapat mengembangkan potensinya, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
The Eclectic approach memberikan kesempatan pada keluarga untuk mendesain sendiri program homeschooling yang sesuai, dengan memilih atau menggabungkan dari sistem yang ada.
Unschooling approach berangkat dari keyakinan bahwa anak-anak memiliki keinginan natural untuk belajar dan jika keinginan itu difasilitasi dan dikenalkan dengan pengalaman di dunia nyata, maka mereka akan belajar lebih banyak daripada melalui metode lainnya. Unschooling tidak berangkat dari textbook, tetapi dari minat anak yang difasilitasi.


  PROBLEMATIKA HOMESCHOOLING DAN JAWABANNYA

1. Bagaimana Masa Depan Anak Homeschooling?
Untuk memasuki masa depan (baca: profesi) yang dibutuhkan adalah keahlian (expertise) dalam bidang tertentu (Sumardiono, 2007d). Lebih lanjut Sumardiono menjelaskan bahwa salah satu tanda keahlian ditandai dengan ijazah/sertifikat dari sebuah jenjang pendidikan tertentu. Selain itu ukuran keahlian adalah hasil karya (output).
Jika ijazah yang diperlukan untuk memasuki Perguruan Tinggi, maka anak Homeschooling dapat menempuhnya melalui ujian kesetaraan (Paket A, B,dan C). Jika sertifikat yang menjadi pintu profesi, praktisi Homeschooling dapat mengikuti kursus dan program sertifikasi yang diselenggarakan oleh asosiasi profesi dan perusahaan swasta tertentu. Bentuk kursus profesi dan program sertifikasi adalah dalam bidang komputer, bahasa, seni, dan lain-lain.
Adapun sekarang, perusahaan swasta semakin menghargai “portofolio karya/kemampuan” daripada sekedar ijazah. Inilah yang dimaksud dengan ukuran keahlian berupa hasil karya (output). Bentuk profesi berorientasi output seperti bisnis, komputer, marketing, fotografi, entertainment, tulis-menulis, dan desain, sekarang semakin luas dan memiliki masa depan cerah


2. Ijazah Homeschooling

Lebih lanjut menerangkan pembahasan sebelumnya mengenai ijazah bagi anak Homeschooling, sebenarnya tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan dipermasalahkan. Mustika (2007a) menerangkan bahwa di Indonesia telah terbentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang dimotori tokoh-tokoh pendidikan nasional seperti Kak Seto, M. Fauzil Adhim, Dewi Hughes, dll, serta dibina Departemen Pendidikan Nasional bidang Pendidikan Luar Sekolah.  Walaupun secara formal belum ada Undang-undang yang mengatur Homeschooling, tetapi Homeschooler dapat mengikuti ujian kesetaraan yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Bahkan, ijazah dengan akreditasi internasional dapat diperoleh melalui lembaga-lembaga formal di Eropa dan Amerika melalui ujian jarak jauh.

3. Homeschooling Mahal?

Mahal atau murahnya setting Homeschooling tergantung pada keluarga yang menyelenggarakan Homeschooling (Sumardiono, 2007b). Yang pasti Homeschooling tidak gratis karena orang tua perlu menyiapkan materi-materi belajar untuk pendidikan anaknya dan untuk memperkaya wawasan orang tua itu sendiri.  Homeschooling dapat menjadi murah jika orang tua dapat memanfaatkan sumber daya yang sudah dimiliki sendiri, misalkan barang-barang yang di rumah, keluarga, teman, tetangga, dan fasilitas-fasilitas umum yang ada. Orang tua tidak harus membeli, tetapi dapat meminjam, membeli barang bekas, melakukan daur-ulang (recycle), dan sebagainya.
Sebagai catatan, penyelenggaraan Homeschooling adalah fleksibel, tidak seperti sekolah formal yang mengharuskan orang tua mengeluarkan biaya tetap yang telah ditetapkan untuk biaya gedung, seragam, buku, iuran bulanan, dll (Sumardiono, 2007b). Orang juga akan merasakan dampak perubahan kurikulum yang diterapkan sehingga menjadikan mereka harus membeli buku pelajaran sesuai kurikulum terbaru bagi anaknya. Padahal secara substansial buku ‘sang kakak’ masih dapat dipakai. Bukankah secara garis besar isinya sama?

4. Orang Tua Perlu Harus Serba Tahu?

Orang tua tidak harus menjadi orang yang serba tahu jika ingin meng-Homeschool anaknya (Mustika, 2007a). Yang terpenting dalam Homeschooling adalah penanaman sikap mental belajar kepada anak-anaknya sehingga mereka dapat belajar kapan saja, dimana saja dan bersama siapa saja. Di sisi yang berlawanan ini tidak atau kurang dapat diterapkan oleh anak yang menempuh pendidikan formal di sekolah karena mereka disibukkan dengan tumpukan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan, les dan sebagainya, yang belum tentu mereka nikmati.
Pada kesempatan yang lain Mustika (2007b) menegaskan bhwa orang tua atau guru Homeschool ‘sangat tidak diharapkan’ menjadi ‘kamus berjalan’ yang harus menjawab semua hal yang ditanyakan Homeschooler. Bahkan poin penting yang ditekankan Homeschooling adalah penanaman pada Homeschooler untuk ‘bagaimana belajar’ sehingga diharapkan mereka menjadi pembelajar mandiri.

5. Homeschooling Minim Interaksi Sosial

Kritik terhadap sosialisasi pada Homeschooling bukanlah hal yang baru. Di Amerika Serikat yang tradisi Homeschooling-nya lebih matang (sekitar tiga juta siswa dengan pertumbuhan 15% per tahun) pun, kekhawatiran terhadap sosialisasi Homeschoolerbelum dapat ditepis seluruhnya (Sumardiono dalam Sufehmi, H: 2007). Persepsi yang sangat kuat itu muncul dari masyarakat umum yang melihat proses Homeschooling dari kejauhan.
Sumardiono (dalam Sufehmi, H: 2007). lebih lanjut menyebutkan bahwa penelitian mengenai sosialisasi Homeschooler justru menunjukkan sebaliknya. Anak-anak HS memiliki beragam kegiatan sosialisasi teman sebaya maupun keterlibatan di masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurut penelitian, keterlibatan sosial anak-anak Homeschooling lebih baik dibandingkan dengan teman-teman mereka yang belajar di sekolah umum. Diantara penelitian itu dilakukan oleh Dr. Brian Ray, presiden dari the National Home Education Research Institute (NHERI) terhadap 5,402 siswa Homeschooling di Amerika Serikat.
Model sosialisasi Homeschooling memang berbeda dengan model sosialisasi sekolah (Sumardiono dalam Sufehmi, H: 2007). Dalam model sosialisasi Homeschooling, anak lebih banyak terekspos dengan model sosialisasi lintas umur, baik ketika belajar di rumah maupun di luar rumah. Ekspose dengan model sosialisasi lintas-umur inilah yang justru dinilai sebagai kekuatan karena merupakan cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar